Kamis, 13 Oktober 2011

kisak kaum marjinal

sebnarnya hari ini sangat malas untuk membuka laptop walaupun hanya untuk sekedar mengecek e-mail tapi entah kenapa ada dorongan untuk sekedar menengok. sambil mengisi waktu loading yang cukup lama, saya coba membuka kembali arsip tulisan yang lama tersimpan dalam buku (dulu sebelum punya laptop, saya sering menulis di buku), ada satu tulisan menarik yang mengingatkan saya akan masa lalu, tulisannya tidak panjang hanya beberapa paragraf, tapi yang membuat saya tertarik pada tulisan itu bukanlah karena tulisannya tapi sesuatu di balik tulisan itu.
judulnya “pelanggan” saya tidak akan menulis kembali cerita itu, tapi hanya sekedar mengullas kenapa tulisan itu sangat menarik bagi saya (pandangan amat sangat subjektif, hehhehe ^,^). tulisan itu membawa saya kepada seapasang suami istri yang kesulitan untuk menguburkan anaknya di jogja.
malam itu sebenarnya saya bersama seseorang berniat menjenguk salah seorang teman yang di rawat di salah satu Rumah Sakit di jogja. tapi karena waktu jenguk sudah habis, hanya orang yang memegang kartu masuk sebagai penunggu pasien saja yang berhak masuk. sayangnya kami berdua tidak memiliki kartu tersebut, akhirnya dengan berbagai alasan kepada satpam penunggu pintu (serem.. kaya hantu aja penunggu…)salah satu dari kami boleh masuk untuk mengambil kartu sementara. saya sendiri memutuskan untuk menunggu di luar (yaa… teras RS tsb lah…), walau pada saat itu rintik grimis cukup deras.
ga lama setelah suasana dingin menusuk ke tulang, ada seorang wanita lusuh menangis histeris di dampingi seorang pria di sampingnya dengan tangan kiri mengepal keras dan tangan kanan memegang bahu wanita itu dengan erat, wajahnya masih sanggup untuk mencoba menatap lurus walau terlihat guratan kesedihan jelas tergambar di wajahnya. saya masih duduk sambil mencoba merapatkan kaki dan menyilangkan tangan didada, sekedar menahan dingin. entah apa yang terjadi dengan sepasang -yang menurut saya- suami-istri tersebut. saya mencoba bersikap acuh sambil mengomel dalam hati, teman yang tadi masuk untuk mengambil “boarding pass” Rumah Sakit belum juga muncul.
lamunan saya tentang teman tadi seketika pecah ketika seorang tukang parkir berujar
“kasihan ya mereka, udah anaknya mati, ga bisa di kubur lagi” ,
kalimat tukang parkir yang di tunjukan kepada para tukang becak dan sopir taksi yang mangkal di depan RS tersebut membuat saya yang duduk agak jauh mencoba untuk menggeser duduk saya mendekati “rumpian” para “transporter”, suara rintik grimis yang sudah agak mereda saya coba hilangkan dan menggantinya dengan memfokuskan telinga kanan saya dengan pembicaraan mereka tadi, lamunan teman yang tak kunjung kembali saya ganti dengan berkonsentrasi pada topik pembicaraan mereka.
hampir 15 menit saya mencoba memahami apa yang sedang sopir, tukang becak, tukang parkir itu bicarakan, dari pembicaraan mereka ada satu garis kesimpulan yang sama yang sedang mereka fikirkan atau bahkan mungkin takutkan. tentang nasib mereka yang mungkin sama seperti apa yang suami-istri tadi rasakan.
ternyata sepasang suami-istri tadi sedang menangisi anak mereka yang telah meninggal. anaknya meninggal terkena Demam Berdarah, dan tidak dapat tertolong setelah di rawat 2 hari di Rumah Sakit, dan bukan hanya itu saja, bahwa mereka harus mengalami sebuah kenyatan pahit anaknya tidak bisa di bawa pulang karena biyaya Rumah Sakit harus dilaunasi dahulu sebelum jenazah anaknya diambil, menurut bocoran satpam RS, biaya’y meliputi ICU selama dua hari dan 3 kantong darah, belum lagi biyaya obat serta suntik, yang menyentuh juta dan saya yakin biaya Rumah Sakit untuk anak mereka masih lebih murah di banding sebuah Blackberry yang di pegang anak ABG yang tidak merasa terganggu dengan suara tangis di ruang administrasi, wajah ABG itu tetap tersenyum kecil tanpa pernah sekalipun melepas tatapannya dari layar gadget berharga mahal itu.
masalah suami-istri itu tidak hanya kematian anaknya dan biaya Rumah Sakit, tapi juga soal penguburan jenazah. jenazah itu harus di bawa ke pekalongan karena tidak dapat di kubur di jogja, biasa persoalan classic, mereka tidak punya KTP jogja dan secara administrasi mereka tidak punya tempat tinggal tetap di jogja. sebenarnya ada jalan keluar, yaitu jenazah bisa di kubur di hogja dengan membayar biaya pemakaman dan tempat di TPU. sayangnya hal itu juga tidak dapat di lakuakn karena harga pemakaman di TPU hampir sama dengan biaya sewa mobil jenazah ke pekalongan. tunggu dulu, itu terlalu jauh, sumai-sitri ini masih belum menemukan jalan keluar bagaimana mengeluarkan jenazah anaknya dari Rumah Sakit.
hawa dingin yang tadi menusuk tulang sudah tak terasa lagi, bukan saja karena gerimis sudah reda, tapi hati yang memanas, bukan juga karena melihat realita sosial, tapi saya marah kepada diri sendiri karena tidak mamu membantu mereka. pikiran saya melayang kepada orang-orang kaya serakah, koruptor busuk, DPR yang di cekoki uang rakyat, pemerintahan yang tak beradab dan apa saja hingga pikiran menjadi amat liar sampai bernani menggugat Tuhan (astagfirullah….).
“ziz,”
suara itu sangat saya kenal, ya suara teman yang tadi berangkat bersma ke Rumah Sakit, teman yang meninggalkan saya kedinginan di luar, teman yang membuat saya mendengar dan menyaksikan kisah tragis ini
“ziz”
suara itu kembali terdengar,
“eh, nglamun aja, ayo balik”
ah sialan belum juga masuk menjenguk teman yang sakit sudah di ajak pulang
saya coba membela diri,
“lho aku kan blm masuk ?”
“ga usah, yanto udh tidur, ga enak, td aq jg nyasar di dalem, salah kamar” timpalnya,
“ya udah, ayo pulang” ajak ku….
saya coba menengok kembali wajah suami-istri yang dilanda duka cita amat sangat, sesak rasanya hati ingin rasanya meneskan air mata tapi masih kutahan, tapi sepertinya langit sudah menggantikan diriku, sekarang aku tahu kenapa dari tadi rintik grimis begitu deras, mungkin llangit ikut menangis untukk jenazah itu.

Tidak ada komentar: